Panggilan telpon terus berbunyi, tapi aku tidak ingin mengangkatnya sama sekali. Karena bagiku, orang yang mampu membohongi orang yang paling dicintainya dikebohongan sekecil apapun, memiliki potensi melakukan hal-hal paling tidak mungkin untuk mendapatkan segalanya demi memastikan segala sesuatunya searah dengan semua yang diinginkannya. Padahal dalam hidup, beberapa hal hanya perlu kita terimakan apa-adanya. Tanpa syarat apapun. Cinta, sudah memiliki hukum-hukumnya sendiri yang mutlak.
Kamu baru saja terbang ke New York bersama pria bermata dalam, transplantasi sumsum tulang belakangnya berhasil, dan dalam rentang waktu itu tidak ada kabar apapun selain telpon yang biasanya ringkih penuh dengan canda-tawa suara kita, kini hanya menjadi sebongkah benda tak berguna. Tak ada kamu disana. Yang ada hanya rasa khawatir dan caci maki pada diri sendiri bahwa jarak benar-benar menjauh 2x lipat ketika tak ada apapun yang bisa digunakan untuk memangkasnya.
Dan setelah hari itu, tak adalagi cerita tentang kejenuhanmu meminum obat, rasa sakit atau suasana mencekam karena rintihanmu menahan sakit. Segala sesuatu menjadi keajaiban, kamu seperti terlahir kembali. Kemudian sahabatku, yang kau panggil pria bermata dalam itu memberikan kabar yang tak kalah mengejutkan, bahwa kamu sudah pulih sepenuhnya, bahwa segala sesuatunya menjadi titik balik dan yang perlu dilakukan adalah melanjutkan impian.Meneruskan langkah, memastikanmu baik-baik saja, dan pergi untuk selamanya...
Pengalaman mengajarkan segalanya, begitu kira-kira yang semesta bicarakan dan sampai juga terdengar. Selalu yang menjadi kesulitan tersukar adalah bait pertama dan bait terakhirnya. Karena dari sanalah cerita dimulai dan diakhiri. Kebiasaan lain nya adalah,...tak ada apapun di bait pertama, tidak juga di bait terakhirnya.
Dalam kontradiksi antara hati dan pemikiran yang kadang kala tidak selalu sesuai dan membuahkan perasaan-perasaan yang terbawa dari kisah yang sudah-sudah, Sekelebat, selalu ada. Mengingatkan kembali bahwa sakit adalah sakit, bahagia adalah bahagia, menjadi tidak lagi logis karena Sekelebat itu mencampuradukkan keduanya. Hingga di titik ini, sebagian menyerah lalu membuka kembali kenangan-kenangannya dimasa-lalu yang susah payah coba dilupakannya, sebagian lainya acuh-tak-acuh menenangkan hatinya dan tetap melangkah.
Di Sekelebat itu, wajah-wajah pembuat perumpaan hidup muncul, di Sekelebat itu, cerita-cerita menyakitkan tercampur-aduk dengan kerinduan dari sebagian sisi menyenangkannya sehingga dengan mudah hati memaafkan dan menganggap bahwa segala sesuatunya bisa dimulai kembali. Lalu yang terjadi setelah itu, adalah perulangan rekursif yang tak henti-hentinya menatar dan menciptakan penyesalan-penyesalan baru ketika kita memutuskan untuk menyerah. Maka syukurilah. Atau segalanya benar-benar berakhir sudah.