Senja di musim hujan menjadi temaram seperti langit malam. Membasuh diri dengan usapan butir lembutnya, sejuk, hanya melanjutkan hidup. Di sisi seberang, sebuah pohon hanya melambaikan dedaunan. Mencoba berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti. Mungkin mereka mencoba mengingatkan.

Tak perlu menunjukan apapun! karena hal seperti itu hanya akan membuat langkah terlihat tak seharusnya, bahkan hanya akan membuat sebagian dari mereka merasa aneh dan menjauhi kepatutan bagi sebagian lainnya. Maka izinkan saja aku tersenyum dalam diam. Mematuhi dunia yang berlari-lari dalam pikiran. Toh mengungkapkannya hanya akan membuat sebagian mengerti dan sebagian lainnya tidak, memberikan pemakluman dalam berbagai cara yang sebaiknya tak diutarakan.

Tak perlu menunjukan apapun! karena pada akhirnya, hal seperti itu akan membuat dunia yang diimpikan dengan sangat luas hanya berwujud sebesar kotak sabun. Tidak. Aku tidak mau. Dan diam menjadi satu-satunya tempat terbaik untuk menjaga semua kemungkinan itu tetap ada. Jangan!. Jangan samakan diam lisan dengan langkah tanpa tindakan. Sungguh. Karena hal itu tak memiliki kesamaan.

Aku teringat pada waktu itu, meskipun tak tau pasti kukejar. Meskipun sangat membantu. Namun hari esok yang serasa lama dan tak dapat kugapai. Izinkan saja aku. Diamku. Karena aku, hanya ingin membiasa.








Kamu berdiri dihadapanku, tepat disitu, "hei..kemarilah.." aku memanggilmu, tapi sepertinya kau tak mendengar,...karena ternyata, kita dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh...waktu yang menahun...

Langit masih gelap, bukan karena matahari lupa ingatan atau terlambat terbit, tapi karena awan sedang beriringan menjelaskan bahwa mereka tak sedang ingin saling mendahului. Kita masih duduk di tepi jendela yang terbuka, menatap dunia yang ingin dijelajahi dari balik jendela itu, tapi semua masih tampak sama. Dingin.

Hujan sepertinya akan segera tiba, dan seperti yang biasa kita lakukan untuk menyambutnya, ah, tentu saja, aku tidak akan mengatakannya disini. Benar saja, mereka menderas pelan, lalu beramai-ramai menjadi selimut kita yang semakin merasakan dingin. Dentingannya terus tercurah mengusap atap dan semua daun yang dihinggapinya, menelanjangi waktu yang seolah berjalan lebih lambat, dan dimensi kita menjadi terasa amat dekat tak berjarak. Ya.., kau dan aku.

"Apa kamu tidak bekerja hari ini?" suara lembutmu seperti menyadarkan lamunanku, "Iya sayang, sebentar lagi, aku masih ingin tinggal lebih lama disini, di dalam pikiranku sendiri, bersama kamu, bersama hujan".

"Apa kau ingin minum kopimu secangkir lagi?". Tidak sayang, terimakasih, lagipula, kau tak mungkin mengambilkannya untukku. lalu setelah itu kita hanya saling tersenyum. "Apa kau tak percaya aku bisa mengambilkannya untukmu sayang?" wajahmu semakin tersenyum seolah ingin membuktikan bahwa semua ketidakmungkinan itu menjadi kenyataan. 'Tentu sayang, jika kau pikir Tuhan mengijinkannya'.

*****

Lorong-lorong yang kulewati seperti kota mati yang tak berpenghuni, hanya beberapa petugas yang sedang berjaga sesekali tampak berkeliling, suasana seperti itu...sebutlah apapun itu, menarik ingatan pada waktu yang tlah lalu, dan kau ada didalamnya. Kita menuju anak tangga yang sama untuk kita lewati dan tiba di tempat yang lebih tinggi agar melihat dunia lebih luas dari biasanya. Dan kini, aku mendapati bahwa ternyata aku hanya sendiri.

Seperti juga malam itu, ketika semua kebahagiaan hidup yang baru tumbuh diantara kita harus kita relakan pada rangkulan lengan takdir yang ditetapkan, tak ada pertanyaan apapun pada Tuhan, kita hanya saling merelakan.

Meski tak berselang lama kita kembali dipersatukan, tapi sepertinya Pelukis Malam sedang ingin menyaksikan diorama yang berakhir pilu, atau mungkin itu caraNya memuluskan kutulusan yang harus dibuktikan. Tak sedikitpun kita mengeluh pada keadaan, dan kita hanya saling merelakan keadaan.

Sakitmu adalah sakitku, karena sebagian dari dirimu adalah sebagian dari diriku. Disetiap malam yang kita lalui dengan rasa cemas karena tak tau sampai kapan semua nyeri itu reda, kau hanya memintaku untuk berbicara lebih banyak, setidaknya itu bisa membuatmu lupa, begitulah yang kau katakan. Meski sebenarnya, kita hanya salin membodohi diri dengan teori itu, sesuatu yang tak pernah kita buktikan kebenarannya. Untuk menjadi apapun yang kita inginkan, kita hanya perlu membiasa, bukan begitu sayang?. "iya, dan kita akan membiasa lalu menjadi apapun yang kita inginkan", kau berlalu dangan secangkir kopi hitam yang kau siapkan untukku.

"Sayang aku mau coto!". Pintamu dengan wajah khasmu ketika menginginkan sesuatu. hei, bicaranya jangan seperti anak TK sayang!. Aku berlalu sambil tersenyum. "Ih...di tempatku memang namanya coto sayang!". Apakah kamu harus berbicara dengan kata itu?. "Sayang...memang namanya, COTO!". Wajahmu semakin lucu ketika sedang kesal. Baiklah sayang, mari kita makan SOTO!.

*****
Hujan ini masih tak juga reda, menancapkan pikiranku yang tertuju padamu, tak sedetikpun kulepaskan pandangan ini dari sosokmu, gaun putih yang kau kenakan semakin meyakinkanku bahwa kau adalah putri pelangi yang dikirimkan Tuhan. Yang harus kulihat dengan melewati hujan terlebih dulu, pelangi dengan banyak warna kecuali abu-abu, kau adalah kejelasan tak bersyarat yang melingkarkan kebahagiaan pada tubuhku. Mungkin, kau memang himpunan hujan yang disederhanakan bernama keindahan.

Kau masih tersenyum sambil bersandar dibahuku, awan gelap yang kita pandangi bersama tampak semakin memudar, entahlah, rasa kehilangan itu semakin menakutkan, dan kau tampak seperti baik-baik saja, ya, benar, seseorang yang datang adalah seseorang yang akan pergi meninggalkan. "Sayang, sepertinya Tuhan mengijinkannya, mengambilkan secangkir kopi lagi untukmu". Apa kau sedang bercanda sayang? aku balik bertanya. Kau semakin tersenyum seolah ingin membuatku takut dengan kenyataan itu. "Yasudah, biarkan saja, biarlah tetap seperti ini, aku masih ingin bersandar dibahumu". Rangkulan tanganmu semakin erat seolah tak ingin melepaskan, padahal sebentar lagi kita akan sama-sama beranjak saling menghilang. Kita, sama-sama saling terpejam menghadap hujan. Ya, kita sama-sama terpejam.
*****

Reda sudah. Aku membuka mataku. Mengusap linangan air mata yang sedari tadi ternyata sudah tercurah. Menahan sakitnya kehilangan. Meneriakkan kekosongan yang mengenggelamkan semua hal yang tak lagi sama. Dan secangkir kopi ini menjadi bukti bahwa kau memang hadir disini. Menemaniku bersama hujan, seperti yang telah kau janjikan. Kita, telah saling membagi beban dengan tak saling melupakan. Kau telah kembali ke tempatmu, dan aku, masih berada disini, di tempat yang terlalu lama untuk disebut sebagai tempat bermain. Dan aku harus menunggu setengah musim kedepan agar dapat melihatmu. Dalam Pikiranku. Karena mungkin, ini adalah hujan terakhir yang kita bagi di musim penghujan kali ini. tidakkah kesatria terbaikpun berhak untuk berdarah?. Tunggu saja kedatangku sayang, karena sebelum itu, aku harus menuliskan namamu terlebih dahulu di sebuah bangku taman yang menghadap ke sungai yang disampingnya ada sebuah lampu, dikota itu. Paris. Seperti impianku. Dan disana kita akan bertemu untuk terakhir kalinya sebelum bersama lagi di keabadian.


Bersama hujan, aku mengumandangkan do'a-do'a yang tak pernah kuceritakan....
Membagi waktu bersamamu...di dalam pikiran...
Menemukanmu dalam keindahan senyum...
Meski harus menunggu semusim lagi...aku tetap akan melakukannya...
Karena apapun itu..kau akan tetap hidup dan terkenang..
Hingga kita berdua yang akan menjadi sebait cerita yang bernama kenangan itu....
Mengenalmu, adalah cara Tuhan menunjukan keAgungan...
Dan disampingmu, adalah cara ku mewujudkan semua impian......


10:21 am
-ASW-



Ketika kita tiba pada suatu titik, kita selalu memiliki pilihan untuk berhenti atau melanjutkan. Dan 'melanjutkan' selalu memberikan arti lain dari sebuah usaha yang di serahkan pada pelukis langit, termasuk juga do'a-do'a yang sepertinya tidak mungkin tapi begitu diinginkan. Tapi bagi Tuhan, ketidakmungkinan adalah ketiadaan.

Selasa. Hari kedua ketika hitungan waktu dimulai dari senin. Hari dimana Tuhan semakin meyakinkanku bahwa "tak ada do'a yang tak terkabulkan" meski dengan cara-cara yang agak sulit untuk dipahami, tapi sebetulnya semua itu ada.

Beberapa minggu lalu aku pernah berujar, bahkan masih di tempat yang sama. Tuhan aku ingin Morrie, aku ingin seorang Morrie! begitulah kira-kira. Dan hari ini, Tuhan benar-benar mengirimkannya. Seorang Morrie dengan segala keunikannya, dia biasa menggunakan Topi koboi dan sepatu sport, geraknya lincah seperti masih seumurku padahal usianya sudah diatas setengah abad. Dia selalu menyapa "Helloo...""jeeet iiitttt?" kalimat 'Did you eat' yang hampir tersamar oleh keunikannya". Kalimat yang selalu menjadi ciri khasnya ketika menyapa di depan pintu ruangan kerjaku. Acara kesukaannya adalah Three Stogees, komedi lawas entah tahun berapa, dimana gambar yang ditampilkan hanya berwarna Hitam dan Putih. Mr.Sugeng. Aku biasa memanggilnya Sensei Dia benar-benar seperti do'a yang terjawab. Proffesor Morrie versiku sendiri. Sebutlah apapun itu, karena aku sedang menjalani hidup impianku. Seperti juga tempat ini. Karena Dimata Tuhan, tidak ada yang datang terlalu cepat atau terlalu lambat, yang ada hanya tepat!.


Thuesday 15 01 2013


Ternyata, kita hidup dan tinggal di dunia yang disekat-sekat. Diberi label dan dikelompokan berdasarkan entah apa namanya. Bahkan kebebasan sudah tak lagi menjadi kebebasan jika itu sudah menjadi keharusan.


Diberdayakan oleh Blogger.